Ki Ageng Suryomentaram
Ki Ageng Suryomentaram (ꦱꦸꦂꦪꦩꦼꦤ꧀ꦠꦫꦩ꧀, 20 Mei 1892 - 18 Maret 1962) memiliki nama kecil Bendara Raden Mas Kudiarmadji. Beliau merupakan putra ke-55 dari Sultan Hamengku Buwana VII dari istrinya Bendara Raden Ayu Retnomandoyo, putri dari Patih Danuredjo VI. Beliau menempuh pendidikan pertamanya di Srimanganti dan pernah mengikuti kursus Klein Ambtenaar. Selain bahasa Jawa, beliau menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Arab.

Beliau memisahkan diri dari lingkungan keraton dan menjalani hidup seperti orang biasa dengan berjualan kain dan bahkan menjadi pemborong penggalian sumur. Beliau juga mengajukan dirinya untuk berhenti menjadi pangeran kepada ayahnya, Sultan Hamengku Buwana VII tetapi tidak dikabulkan. Permohonannya untuk berhenti menjadi pangeran dikabulkan setelah Sultan Hamengku Buwana VIII naik tahta. Sejak itu pula ia menjalani kehidupan yang “bebas”.
Ki Ageng Suryomentaram kemudian menetap di Kroyo Bringin, Salatiga, sebagai petani sejak tahun 1925. Ki Ageng Suryomentaram juga dikenal sebagai Ki Ageng Bringin. Walau berdiam di Bringin, orientasi kegiatan dan orientasi spiritual budayanya tetap berkiblat ke Yogyakarta. Beliau menjadi penceramah keliling untuk wilayah Salatiga dan sekitarnya, seperti Madiun, Magelang, dan beberapa wilayah Pantura, seperti Semarang dan Kudus. Substansi wejangannya yang berinti logikopsikologi Jawa dijabarkan, antara lain dalam spektrum kepenuhan hidup dan manusia merdeka, pendidikan, rasa kebangsaan, dan mata pencaharian. Wejangannya dikenal sebagai “kawruh begja,” “ilmu bahagia.” Metafora terkenalnya: “mulur mungkret.”