Amanat Galunggung
Amanat Galunggung berisi ajaran hidup yang disampaikan oleh Rakeyan Darmasiksa kepada putranya Sang Lumahing Taman beserta keturunannya. Ajaran hidup ini merupakan pemikiran yang berhubungan dengan moral dan etika yang sebaiknya dipegang teguh dan dilaksanakan, terutama oleh pemimpin masyarakat dan negara.
ID1
Amanat Galunggung
Semoga tiada halangan.
Inilah permulaan tanda peringatan Rahiyang Banga,
ketika dia membuat parit pertahanan Pakuan,
bernama Rahyangta Wuwus,
maka dia berputera Maharaja Dewata berputera Baduga Sanghiyang,
Baduga Sanghiyang berputera Prabu Sanghiyang,
Prabu Sanghiyang berputera Sang Lumahing Rana,
Sang Lumahing Rana berputera Sang Lumahing Winduraja,
Sang Lumahing Winduraja berputera Sang Lumahing Tasikpanjang,
Sang Lumahing Tasikpanjang berputera Sang Lumahing Ujung Kembang,
Sang Lumahing Ujung Kembang berputera Rakeyan Darmasiksa.
Darmasiksa, dia menasihati anak, cucu, umpi (turunan ke-3),
cicip (turunan ke-4), muning (turunan ke-5), anggasantana (turunan ke-6),
kulasantana (turunan ke-7), pretisantana (turunan ke-8), wit wekas (turunan ke-9),
sanak-saudara.
Jangan bentrok karena berselisih maksud, jangan saling berkeras,
hendaknya rukun dalam tingkah laku dan tujuan.
Ikutilah, jangan hanya berkeras pada keinginan diri sendiri.
Camkanlah tata krama,
bila kita ingin menang perang, selalu unggul berperang,
tidak akan kalah oleh musuh yang banyak:
musuh dari darat dari laut,
dari barat dari timur di sekitar negeri,
musuh halus, musuh kasar.
Jangan dengan sengaja kita memperebutkan:
yang lurus, yang benar, yang jujur, yang lurus hati.
Jangan berjodoh dengan saudara,
jangan membunuh yang tak berdosa,
jangan merampas milik yang tak bersalah,
jangan menyakiti yang tak bersalah,
jangan saling curiga antara wanita,
jangan saling curiga antara hamba dengan hamba.
Waspadalah, kemungkinan direbutnya kemuliaan dan panji kesaktian
oleh Sunda, Jawa, Lampung, Baluk, para pedagang
yang akan merebut kabuyutan di Galunggung.
Siapa pun yang dapat menguasai kabuyutan di Galunggung,
dia akan memperoleh kesaktian dalam tapanya,
dia akan unggul perang,
dia akan lama berjaya,
dia akan mendapat kebahagiaan dari kekayaan secara turun-temurun,
yaitu bila sewaktu-waktu kelak ditinggalkan oleh para rama (tetua desa) dan para resi.
Bila terjadi perang memperebutkan kabuyutan di Galunggung,
pergilah ke kabuyutan, bertahanlah kita di kabuyutan.
Segala yang berlebih hendaknya dirapikan, semua dengan yang di Galunggung.
Cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya.
Lebih berharga nilai kulit lasun di tempat sampah daripada Rajaputra (Rakeyan Saunggalah),
apabila kabuyutan akhirnya jatuh ke tangan orang lain.
Langgarlah pantangan-pantangan yang sebelumnya ditaati,
yaitu membunuh yang tak berdosa,
memarahi yang tak bersalah,
demikian pula tidak berbakti kepada pendeta dan leluhur kita sendiri
hanya apabila kabuyutan telah oleh orang lain.
Hindarkan sikap tidak mengindahkan cegahan dan pantangan diri sendiri,
jangan bingung menghadapi musuh kasar, laskar musuh dapat dilawan.
Sebaliknya musuh halus tidak dapat dilawan,
jampi tidak akan mempan,
sumpah kutukan seribu kali tak akan berguna,
ibarat kurban yang tidak terlaksana,
oleh sebab perbuatan yang melampaui batas aturan,
mengabaikan aturan dari leluhur,
luput menyadari ucapan kakek dan buyut.
Bandingannya:
pandai besi dengan pandai emas,
dalang dengan penabuh gamelan,
hamba dengan majikan,
petani dengan pemilik tanah,
laki-laki dengan perempuan,
demikian pula raja dengan upeti.
Berkeras kepada keinginan sendiri,
tidak mendengar nasihat ibu dan bapak,
tidak mengindahkan ajaran tata krama,
itulah contoh orang yang keras kepala,
ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegalan,
ibarat tetapnya puncak gunung.
Siapa pun yang mengetahuinya,
ya tahulah dia akan ketentraman,
tahu akan nasihat kakek dan buyut,
agar kita unggul perang dan lama berjaya.
Janganlah kita bertengkar tentang:
yang tepat, yang benar, yang jujur, yang lurus hati,
ya sungguh-sungguh tenteram manusia di dunia,
ya kehidupan kita semua,
ya ketenteraman namanya ibarat gunung kahiyangan bagi kita,
beralih ke telaga bening namanya,
beralih ke tanah pusara,
tempat orang berteduh dari kepanasan.
Pelihara kesempurnaan agama,
pegangan hidup kita semua,
jangan luput atau bingung terhadap ajaran para leluhur.
Itulah ujar Rakeyan Darmasiksa menasihati kita semua,
mengajari Sang Lumahing Taman.
Dia, Rakean Darmasiksa berputera Sang Lumahing Taman
dari perkawinannya dengan wanita dari Darma Agung.
Dia juga pernah menikah dengan orang desa.
Putranya bernama Sang Raja Purana.
Kata Sang Raja Purana,
"Ah sempurna, sempurna ajaran ayahku suwargi, dia Rakeyan Darmasiksa."
Peliharalah agar tetap ditaati oleh orang banyak,
agar aman tenteram seluruh negeri,
raja tenteram bertahta,
sang rama (tetua desa) tenteram menghimpun bahan makanan,
sang disi unggul perangnya.
Tetaplah mengikuti ucap orang tua,
melaksanakan ajaran yang membuat parit pertahanan di Galunggung,
agar unggul perang,
serta tumbuh tanam-tanaman,
lama berjaya panjang umur,
sungguh-sungguhlah mengikuti tata krama warisan dari para suwargi.
Dunia kemakmuran, tanggung jawab sang rama,
dunia kesejahteraan hidup, tanggung jawab sang resi,
dunia pemerintahan, tanggung jawab sang prabu.
Jangan berebut kedudukan,
jangan berebut penghasilan,
jangan berebut hadiah,
karena sama asal-usulnya, sama mulianya.
Oleh karena itu bersama-samalah berbuat kemuliaan dengan perbuatan,
dengan ucapan, dengan itikad:
yang bijaksana,
yang selalu berdasarkan kebenaran,
yang bersifat hakiki,
yang sungguh-sungguh,
yang memikat hati,
suka mengalah,
murah senyum,
berseri hati,
dan mantap bicara.
Bagi kita semua, tua dan muda,
jangan berkata berteriak,
jangan berkata menyindir-nyindir,
jangan menjelekkan sesama orang,
jangan berbicara mengada-ada,
agar unggul perang dan lama berjaya namanya.
Kita merasa bahagia,
maka sempurnalah agama,
dengan kasih-sayang kepada sesama manusia,
maka kita dianggap bangsawan,
maka kita dikatakan orang mulia oleh sang rama.
Menurut ajaran dalam tata krama,
bagi kita, laki-laki dan perempuan,
ya beramal ya bertapa, itulah perbuatan kita.
Buruk amalnya berarti buruk tapanya,
sedang amalnya berarti sedang tapanya,
sempurna amalnya berarti berhasil tapanya.
Ada pun kita ini, karena amallah dapat menjadi kaya,
karena amal pula dapat berhasil tapa kita.
Bila orang lain akan memuji tapa kita,
maka puji sajalah diri sendiri, katakan:
"Barangkali karena sempurna amal maka menjadi kaya."
Bila disesali oleh orang lain karena kita tidak melakukan tapa,
sesali sajalah diri sendiri, katakan:
"Barangkali karena beramal buruk maka tapa kita menjadi batal."
Percuma jika amal itu tidak dilakukan karena takut dicela oleh yang lain,
percuma kita menambah amal bila mengharapkan dipuji oleh orang lain.
Sebab si cekatan, si terampil, si tulus-hati, si rajin-tekun,
si tawakal, si bersemangat, perwira, cermat, teliti, rajin, tekun, penuh keutamaan,
ya berkemampuan namanya, benar-benar kaya dan berhasil tapanya.
Begitulah kesempurnaan amal orang mulia.
Terus camkanlah ujar orang-orang tua, ujar leluhur kita sendiri
agar masuk surga tiba di Kahyangan Batara Guru,
bila kejujuran dan kebenaran ada pada diri kita sendiri.
Itu dikatakan agar kita berbuat baik.
Untuk si pemalas, si keras-kepala, si pandir,
perenung, pemalu, mudah tersinggung,
lamban, kurang semangat, gemar tiduran,
lengah, tidak tertib, mudah lupa,
tak punya keberanian, kecewa, luar biasa,
sok jago, juara (jagoan), tetapi tak berkepandaian,
selalu mengeluh, malas, tidak bersungguh-sungguh,
pembantah, penempelak, selalu berdusta,
bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan,
segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh,
mudah percaya kepada omongan orang tanpa disaring dahulu,
tidak teguh memegang amanat, menyebalkan, aib, nista.
Mayat-mayat mereka ada pada lubang kawah neraka,
dikuasai oleh Sang Yamadipati.
Arwah berdatangan dalam tiga masa,
berupa manusia, maka jadi mengeluh,
asal-mula jadi mengeluh karena malas pada hal banyak keinginan yang tidak tersedia di rumahnya,
meminta belas-kasihan kepada orang lain,
meminta bila tidak diberi kesal hatinya, jadi mengeluh.
Tercela, karena yang demikian itu ya seperti air di daun talas, plin-plan namanya.
Akibatnya kita iri akan keutamaan orang yang benar.
Ada pun amal yang sempurna pada diri kita adalah ilmu padi:
pada saat bertunas sebesar jarum, keluar tiga daun,
saat disiangi, tumbuh dewasa, keluar kuncup seperti bulu hidung,
mekar buah, ya menunjuk langit, ya menengadah, indah tampang namanya.
Setelah berisi tiba saat mulai merunduk, menguning masak,
ya makin runduk, karena merasa diri telah berisi.
Bila ada yang mau dan bersedia berbuat demikian,
maka kehidupan orang banyak akan seperti perilaku padi.
Bila saatnya berisi tetap tengadah,
saat menguning tetap tengadah,
saat masak tetap tengadah,
hampa namanya.
Lain dengan yang disebut padi yang rebah-muda,
sebab nihil hasilnya.
Inilah perilaku kebanyakan orang,
karena merasa rumah telah lengkap terisi,
lumbung telah terisi,
negeri telah ramai isinya,
dijadikan kekayaan,
dijadikan persediaan,
dijadikan perhiasan.
Tidak akan ada yang mengingini padi itu,
karena tak dapat dipetik hasilnya,
tak ada yang patut ditiru.
Maka orang banyak itu sama dengan rebah-muda namanya.
Janganlah kita berwatak rendah, pasti tak akan lama hidup.
Bila kita menyayangi orang-orang tua,
hati-hatilah memilih istri,
hati-hatilah memilih jodoh,
hati-hatilah memilih hamba,
agar jangan menyakitkan hatinya sendiri.
Bertanyalah kepada orang-orang tua,
niscaya tidak akan hina tersesat dari agama,
yaitu hukum buatan leluhur.
Ada dahulu ada sekarang,
tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang,
ada masa lalu ada masa kini,
bila tidak ada masa lalu tidak akan ada masa kini,
ada pokok kayu ada batang,
tidak ada pokok kayu tidak akan ada batang,
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya,
ada jasa ada anugerah,
tidak ada jasa tidak akan ada anugerah.
Galah panjang disambung batang,
galah tusuk dipotong runcing,
Akhirnya malah,
kita merasa tidak melakukan amal baik.
Lalu berkelana,
ke barat ke timur,
ke utara ke selatan,
banyak tempat tinggal,
senang berpindah-pindah,
banyak tanam-tanaman,
banyak tempat peristirahatan,
perhiasan perak,
bertualang,
senang memelihara ternak,
ingin banyak hamba.
Tidak akan terlaksana,
karena kita tidak beramal baik.
Salah tindak para orang terkemuka,
ya pemilik tanah,
ya penguasa,
ya pendeta,
semuanya salah tindak,
ya bahkan raja seluruh dunia salah tindak.
Makin semrawut tanpa kepastian dunia ini.
Kata Rakeyan Darmasiksa:
urung memperoleh rumah banyak,
lebih baik jangan beristri banyak;
urung bertapa mencapai kesucian diri,
lebih baik jangan bertapa,
Tak akan terlaksana,
karena kita tidak berkarya,
karena tidak memiliki keterampilan, tidak rajin,
karena merasa diri berbakat buruk,
malah lalu kita jauhi, percuma saja,
ibarat galah panjang disambung batang namanya,
Mereka yang utama,
yang takut akan kutukan,
taat kepada orang-orang mulia,
kepada pemilik tanah dan penguasa,
banyak memiliki keterampilan,
cerdas, cekatan, terampil,
ya ibarat galah tusuk dipotong runcing namanya.
Tidaklah mengurungkan amal-baik kita bila demikian halnya.
Kita tiru wujud patanjala;
pata berarti air,
jala berarti sungai.
Tidak akan sia-sia amal baik kita,
bila kita meniru sungai itu.
Terus tertuju kepada alur yang akan dilaluinya,
senang akan keelokan,
jangan mudah terpengaruh,
jangan mempedulikan hal-hal yang akan menggagalkan amal-baik kita,
jangan mendengarkan ucapan yang buruk,
pusatkan perhatian kepada cita-cita sendiri.
Ya sempurna, ya indah ....
Referensi
- Atja dan Saleh Danasasmita. 1981. Amanat Dari Galunggung Kropak 632 dari Kabuyutan Ciburuy. Garut: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
- Utherakalimaya (26-Jan-2024)