Skip to content

Jatiniskala

Naskah Jatiniskala tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional dengan nomor inventaris Kr. 422. Naskah itu berasal dari kabuyutan Ciburuy, Garut Selatan, dan diserahkan oleh pelukis Raden Saleh kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Aca 1970:20), mengingat tempatnya dalam peti yang sama dengan naskah-naskah Ciburuy yang lain (peti no. 15).

Naskah Kr. 422 mengandung embaran mengenai ajaran keagamaan yang memperlihatkan berbaurnya ajaran Hindu dengan ajaran pribumi. Bahkan, dalam naskah itu nama-nama pribumi itu jauh lebih banyak, dan mereka ada yang memperoleh derajat sebagai apsari 'makhluk kayangan, pendamping dewa'. Nama dan istilah pribumi yang muncul sejak lempir pertama adalah antara lain buwana herang 'dunia jemih', rahyang tunggal premana, sanghyang tunggal wisesa, sanghyang aci larang, tunjung herang, aksari tunjung mabra, dan pwah bentang kukus. Semuanya memperlihatkan bahwa hal-hal yang bersifat pribumi jauh lebih menonjol dari pada yang datang dari luar. Embaran semacam itu antara lain juga terdapat dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda ng Karesyan dan Sewakadarma Sunda Buhun.


Jatiniskala

Kata Batara Premana (=yang waspada) dan kejernihannya menembus sampai ke dunia bening, "Ah, inilah si Ijuna Jati, bukanlah kebahagiaannya. rahyang Tunggal Premana tidak akan melebihi itu karena adanya ketunggalan. Tunggal aku Premana, dan Premana adalah Aku. Semuanya jemih menembus dunia, berhadapan."

Kata Sanghyang Aci (=inti), "Ah, inilah si Ijuna Jati, bukanlah demikian akhirnya Sanghyang Tunggal Wisesa; ia tidak akan melebihi karena Akulah yang wisesa (=berkuasa), yang berkuasa adalah Aku. Jernih terus menembus hingga ke dunia senyap."

Kata Sanghyang Aci, "Akulah si Ijuna Jati, karena bukanlah Aku yang memiliki kediaman Rahyang Hurip (=hidup), tidak ada daya, kata, dan semangat. Semuanya tidak akan melebihi itu, karena hidup adalah hidupku, karena tapa (=bertapa) adalah tapaku, karena daya adalah dayaku, karena kata adalah kataku, karena semangat adalah semangatku. Semua kejemihan menembus dunia niskala (=tanpa waktu, langgeng), inti dunia. Inti dunia adalah inti dari inti siang yang benderang."

Kata Sanghyang Aci Wisesa (=inti kekuasaan), "Akulah si ljuna Jati. Bukanlah kebahagiaan bagi Batara Niskala, yaitu Batara ... di dunia. Ia itulah Batara Sang Aci Larang, inti perang, inti ketenangan, inti dari segala dewata yang semuanya hidup dari semua yang hidup. ialah yang ....

... daya, kata, dan semangat, kecintaan dan perasaan dari Sang Premana Wisesa. Hidup menyatu dengan bertapa; itulah yang mengisi kehidupan, inti yang dimiliki Sanghyang Sri Wisesa itu berasal dari Yang Kuasa. Lebih daripada yang lebih, bedeto daripada yang bedeto. Hidup dari yang hidup, gaib dari yang gaib, indah dari yang indah, mungil dari yang mungil, langgeng dari yang langgeng, sempurna dari yang sempurna, dewata dari yang dewata. Karena itulah yang sebenarnya yang berkuasa di luar para dewata, di luar kehidupan, di luar segala kemungkinan, di luar segala kemustahilan. Panutan terakhir, panutan para dewata adalah ratu dari semua ratu para dewata, yaitu Batara Jati Niskala (=kelanggengan sejati). Itulah Batara Niskala, yaitu Dewata Niskala, tujuh racah (=sesuatu yang tinggi) berpadu menjadi satu, demikianlah keadaannya."

Kata Sanghyang Aci Kumara, "Karena menjadi tanda kekuasaan, hal itu tidak akan terlalu menjadi berlebihan. Karena kelanggengan itu, yang mungil adalah kemungilanku, yang mungkin adalah kemungkinanku, yang tidak adalah ketidakanku, yang tiada adalah ketiadaanku. Demikianlah jika kita menemukan dunia yang gemerincing, gemerencong, kerabat muda dari yang lebih muda adalah inti dari segala yang lebih rendah. Alunan suara terawangsa terdengar oleh semangat yang menyengsarakan, yaitu kerahasiaan, karena di dunia tak ada pertiwi (=bumi). Di dalem (=istana) tak ada rumput. Kemudian juga tak ada matahari tak ada bulan. Dalam kematian tak ada angin, dalam teja tak ada bayangan, di udara tak ada awan, di dunia tak ada hidup, tak ada pelangi melengkung, langit yang berwujud. Tak ada yang kemalaman. Oleh petang tak ada yang terkena terang. Oleh terang tak ada yang terlindung oleh siang ataupun malam.

Tak ada yang melebibi ketinggian dari yang tinggi, tak ada yang melebihi rendah dari yang rendah, tak ada kesempitan oleh keluasan. Itulah inti dari para dewata. Itulah yang dianggap sebagai dunia dari kelanggengan yang sejati. Di situlah terletak rasa yang gemuruh karena menguasai segala yang diam tanpa kalah. Siapa yang berani menuju daerah tempat permata bertapa, sampailah ia berbenti karena menemui sepuluh penderitaan."

Demikianlah kata Batara Niskala, "Duhai anakku, Sanghyang Aci Kumara. ... kau di tempat kediamanku. Pantang semua yang mengasuh-ngasuh tidak ada yang menyukai semuanya Anakku."

Kata Sanghyang Aci Kumara, "Duhai kenistaan yang suri ginistira, terdorong oleh Sanghyang Atma agar mengbadap kepada Batara Guru karena dunia mengelilingi sari dari Pwah Sangbyang Sri."

Kata Sang Aci Larang, "Duhai anakku Aci Kumara, berangkatlah kau, jika demikian dengan membawa amanatku ini: Rasa malas janganlah kausukai, karena akan mengakibatkan kekurusan. Sebaliknya, kemauan haruslah kaubawa. Lagipula ada satu hal, Anakku. Janganlah kau sampai salah arah, janganlah menyeleweng (?). Ada tujuh Pohaci, yaitu Pwah Sri Tunjungberang, Pwah Sri Tunjunglenggang, Pwah Sri Tunjunghnah, Pwah Sri Tunjungmanik, Pwah Sri Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, dan Pwah Sri Tunjungbuwana. Semuanya berada dalam "kurungan" dan masing-masing mempunyai apsari (=makhluk kayangan), yaitu Aksari Tunjungmaba, Aksari Tunjungmabra, Aksari Tunjungsiang, Aksari Tunjungkuning, Aksari Nagawali, dan Aksari Naganagini. Kemudian, agak terselang, Pwah Sri Sarinyanawati. Di samping itu, ada lagi Pwah Aksari Manikmaya, Aksari Mayalara, Aksari Atastilana; apsari yang tiba, yaitu Aksari Nikasi, Aksari Mayati, Aksari Padingin, Aksari Kudyakeling, Aksari Mayatumawa, Aksari Janaloka, Aksari Manwa hireng (=hitam), Aksari Madwada, Aksari Kunti, Aksari Titisari, Aksari Kindyamanik, Aksari Madipwaka, Aksari Rumawangi, Aksari Kinasihan, Aksari Kanyawati, Aksari Kemang, dan Aksari Jatilawang. Kemudian ada lagi yang disebut Pwah Bintang Kukus, yaitu Aksari Ratnakusumah, Aksari Hening Hinisjati, Aksari Nwangtwanya, Aksari Gen(?), Aksari Kalasan, Aksari Kagadipi, Aksari Endahpatala, Aksari Sedajati, dan Aksari Imbitjati. Kemudian ada lagi para apsari yang tugasnya berkelana di dunia, yaitu Aksari ....

... apsari yang mengembang, apsari yang suka menggoda dan mendatangkan bencana, dan apsari yang ramah. Tak terhitung jumlahnya yang terdapat di dunia yang indah ini, terutama yang berupa tingkes larang (=intisari yang utama). Sejak melangkah (menjalankan) kekuasaan, bunga dunia menduga dan menjadi pembuka cimsi (?), bagaikan Raja Nisgandawati yang sarat dengan kesukaran. Dari tidak ada Pwah Wirumananggay yang meresap [dengan] sejati dan amsa burena (?) kepadamu, itulah [gambaran dari] yang membuka babakan (=kampung baru) di tempat penyeberangan. Segeralah berangkat, Anakku. Jangan lupa amanatku ini, dan jika [sudah] bertemu [dengannya], bawalah jika tidak masu (?). Demikianlah, Anakku."

Sahut Sang Aci Kumara, "Duhai, tinggi (sukar) nian kata Batara Niskala. Jika itulah semuanya, maka siapa pun tak akan mengalami (menikmati) basilnya mengukus dan bercermin dengan kelompok (?) yang lebih kuat begitu. Hamba [tentu] tidak akan dapat segera melaksanakan yang demikian itu."

Kata Batara Niskala, "Duhai, selamatlah kiranya kau, Anakku. Sebagai hasil aku menjalin persahabatan [melalui] ucapan [penuh] kesejahteraan untuk mencapai kesempurnaan. Nama [sahabatku itu] Prabu Jatiniskala, Sang Lenggangbuwana, yaitu inti dari segala inti dewata. Demikian itulah namanya, Anakku. Segeralah kau berangkat menuju kebenaran yang sejati. Semoga kau tidak mengalami kesukaran [yang perlu disampaikan] sehingga kembali seperti sediakala. Badan halus [nanti] akan berada dalam ketiadaan. Kau akan menemukan [hal] tanpa rupa nanti. [Setelah itu] kemudian menuju lagi badan halusmu, dan kau akan berwujud lagi untuk kembali ke dunia yang indah ini, Anakku."

Sanghyang Aci Kumara, yang merasa telah dibukakan [baginya] perkataan yang sangat bermakna, merasuki dirinya, lalu sumiri (?) dari awal bulan tanpa cahaya (dure 'hiasan'), sudah habis sebelah di dunia yang lama ini.

Setelah semuanya dikalahkan, mundurlah ia dari [hadapan] Sang Niskala sejati, bumi yang maya.

"Inilah si ijuna Jati yang sejati. Bukan [demikian] akhir dari Rahyang Jati yang maya; itulah nya Sang Darmajati (=kewajiban yang sejati). Karena tak akan ada yang lebih sejati, tak ada Aku Sang Darmajati. Akulah itu; itu sebenarnya aku. Semuanya menjadi bening. Malam di dunia yang kelam, bersinar dunia yang jernih. Duhai, inilah si ljuna Jati yang sebenarnya. Cemerlang tidak menutupi rasa sayang yang bukan cuma cangkang (=kulit) yang kosong. Tidak akan melebihi kehampaanku. Itulah tapanya mengapa rahasia dapat mengikuti keburukan dan kebaikan. Tanpa ombak yang mengurung, akhirnya [itulah] Batara Bayu Buwana (=tenaga alam). Itulah yang menjadi barekat (=pelayan?) untuk menyiapkan sebuah perahu. Jika perahu itu bocor, selang beberapa saat hal itu tidak akan menjadi lebih [bocor], karena perahu itu adalah perahuku, pwasa itu pwasaku. Aturlah [dirimu] untuk menonton dari jarak jauh dan jarak dekat, mengatur [diri] di waktu lain. Terus memandang tembus [menerawang] ke dalam kelanggengan, berujung di lapis bumi ajuna."

Kata Sanghyang Aci Wisesa, "Ah, mengapa isi kerangka itu tanpa wujud dan tanpa rupa bayangan, kelihatan bergoyang-goyang, sempoyongan, [antara] ada dan tiada berbaur oleh perbauran perut; lengan, dan kepala. Setengah bagian bumi, demikian juga halnya [dengan] dunia. Semuanya tiba pada kekosongan di seluruh dunia yang tujuh [lapis ], keharumannya tertiup angin ke dalam kehampaan."

Sahut Sanghyang Aci Wisesa, "Ah, jernihlah aku datang ke kesejatian yang sebenarnya. Aku tak akan mungkin meninggalkan tubuhku lebih dulu. Jika ditinggalkan tubuh itu maka nyawanya menjadi abadi."

Maka nyawa Sanghyang Aci Nistmen (=inti dari segala kebenaran) itu pun meninggalkan tubuh halusnya. Tubuhnya ditunggui oleh daya Ketuhanan, oleh kata Ketuhanan, dan oleh semangat Ketuhanan. Demikian itulah yang dianggap sudah sampai ke pangkal, sampai ke batang. Terkena racun, terkena dureg (?) tidak mempan terhadap kesejatian yang sebenarnya. Jadilah tiada tujuan untuk mencapai kelepasan tanpa petunjuk. Ia pun bertemu [dengan sesuatu yang] tanpa wujud, tanpa rupa, tanpa cerita yang sesungguhnya. Tanpa daya, tanpa kata, tanpa semangat, tanpa kisah, tanpa kebahagiaan, tanpa kelepasan, tanpa hyang, tanpa dewata, tanpa warna, dan juga tanpa darma.

Bukankah bunga di hutan, senantiasa tak ada yang buatan, tidak ada yang hasil keinginan?

Demikianlah, jati Nistmen itu tak terucapkan, tak terasakan, tak terdengar, tak terlihat, dan juga tak terkena ajal. ltulah keindahan. Adanya daya tanpa daya, adalah kata tanpa kata, adalah semangat tanpa semangat, adalah hidup tanpa kehidupan. Hidup yang tanpa bawah tanpa atas. Daya itu adalah dayaku seadanya. kata itu adalah kataku seadanya. Semangat itu adalah semangatku seadanya. Bagaimana akan memperoleh petunjuk jika bukan untuk ditunjukinya. Bagaimana akan memperoleh semangat jika bukan untuk diberinya semangat. Bagaimana akan terlihat jika bukan untuk diberinya terlihat. Barangkali bukan karena bukan untuk disalahkan. Bukan tunggal, bukan kesempurnaan, bukan kekuasaan, karena itulah twag (?) dari perwujudan. Tak dibatasi oleh kerasnya jagat yang tangguh. ltulah yang disebut kebenaran yang sejati, tidak kepalang. Jika dikira jati bukanlah junti, jika dikira luput tak bakal luput. Jika dikira barangkali, tak bakal mungkin. Demikianlah sudah ada amanat dari Sanghyang Rampes (=sempurna). Ialah yang memberi petunjuk mengenai kebenaran yang sejati, mengenai agama [aturan] yang tak terajarkan. Itulah dia yang dapat melihat di luar kebenaran yang sejati, yang membentang, yang menghidupkan semangat. Ialah yang ditunjuki tak akan sampai terkena petunjuk itu. Ialah yang memberikan petunjuk, ialah yang menunjuki. Ia itulah yang membuatnya, ia itulah yang membuatkan [bagi yang lain]. Kata-katanya bukanlah tempat untuk memberikan petunjuk bagi mereka yang sudah merupakan titipan. Setiap [barang] titipan karenanya memperoleh petunjuk, memberi petunjuk kepada diri sendiri karenanya memperoleh semangat untuk memberikan semangat kepada dirinya sendiri. Karena kemampuannya bercerita, menceritakan dirinya sendiri, karena menentu-nentukan diri sendiri. Karena menempatkan diri sendiri pada sesuatu yang [merupakan] kemungkinan luputnya kemungkinan, dari keluputan dari luputnya kebenaran yang sejati. Luputnya kebenaran yang sejati, itulah sesungguhnya yang disebut sebagai kebenaran yang sejati.

Itulah [yang disebut] tubuh kasar; ini, nyatanya ini nyatanya itu. Maka yang disebut tubuh halus ialah daya, kata, dan semangat.

Datang [kepada] kekuasaan, dari diriku. Tak akan ada yang lebih berkuasa daripada diriku. Tidak akan ada yang lebih daripada aku. Tak ada yang lebih dewata daripada aku, karena tak ada satu pun yang menguasai diriku. Bukankah aku ini inti dari kebenaran yang sejati?

Katanya, itulah daya, kata, dan semangat; semuanya itu menghalangi dirimu karena menurut perasaannya dia belum aku tinggalkan.

Berkata lagi (tentang) daya, kata, dan semangat. Bukankah pakiwo (?) adalah pemusatan pikiran yang sempurna? Aku adalah aku yang sejati, aku adalah aku yang berkuasa, akulah inti dari semua dewata. Akulah inti dari kelanggengan yang sejati. Akulah inti patanjala, kekasih dari inti Prabu Cakrawati. Akulah itu.

Kata Aci Jati Nistmen, "Daya, kata, dan semangat, janganlah kau merasa melebihi kesejatian dan kekuasaan dirimu sendiri. Janganlah kau merasa dirimu sebagai inti dari inti Prabu Cakrawati. Janganlah hendaknya [kau] merasa demikian karena memikul tubuh yang berwujud, sengsaralah kau [sebenarnya]." Sahut daya, kata, dan semangat, "Nah, itulah kesempurnaan. Itulah si Ijuna, kebenaran yang sejati. Tidaklah bersama dengan harwanya (?) terbatas hanya terdengar suaranya."

Kata Aci Jati Nistmen, "Ah, daya, kata, dan semangat adalah wujud dan bentukan saja, karena akulah yang sebenarnya inti kebenaran yang sejati. Akulah yang luput dari segala keluputan, akulah yang tiada dari segala ketiadaan. Akulah yang mungkin dari segala kemungkinan, akulah yang hilang dari segala kehilangan. Akulah yang mencapai kelepasan dari segala yang mendapat kelepasan. Akulah sejati dari segala yang sejati. Akulah yang benar dari segala kebenaran. Akulah bunga terputih dari semua bunga yang putih. Bukan untuk dicari-cari, karena aku bukanlah yang mencari dan bukan yang dicari. Sebenarnya akulah yang melihat apa pun yang ada. [Bagiku] tak ada yang tersembunyi dan tidak tersembunyi. Tak ada yang jelas dan tidak jelas. Akulah yang dapat melihat apa yang terdapat di luar [kekuasaan] dewata, di luar segala yang hidup, di luar Sang Manon (=yang mengetahui, Tuhan) di luar segala yang sejati, di luar segala yang mungkin, di luar segala yang berdaya, di luar segala kata, dan di luar segala tekad atau semangat. Jika pun dilihat, maka [aku] tak terlihat. Akulah yang melihat di luar daya tanpa mengikuti [menjadi] daya. Akulah yang melihat kata tanpa mengikuti kata itu. Akulah yang melihat semangat tanpa mengikuti semangat itu. Akulah Sang Manon yang membawahkan daya, kata, dan semangat. Ajaran yang melahirkan segala ajana dan segala jalan."

Demikianlah daya, kata, dan semangat. Janganlah kau tidak mengenal akan kesejatiannya. Jangalah kau menganggap diri melebihi, karena dayamu adalah dayaku, semangatmu adalah semangatku, hidupmu adalah hidupku, intimu adalah intiku, Tuhanmu adalah Tuhanku, patanjala-mu adalah patanjala-ku, cakrawatimu adalah cakrawatiku. Sebenarnya, aku adalah kamu, kamu sebenamya adalah aku. Demikianlah daya, kata, dan semangat."

Adalah inti kebenaran yang sejati. Tidak terdengar gerakannya yang sejati dalam [mengikuti] tindakan Jati Niskala. Dekat kepada Windu Larang, ialah yang senantiasa siaga, merendah mengikuti tiga perasaan senyap. Karena keheningan menjadi jernih dari panajaan (?). Diberilah ia tindakan [gerak] biri-biri yang mantap, orang yang tenang, untuk direkakan [menjadi] tiga kelompok agar mengetahui penggarapannya, mengetahui kesirnaannya.

Hal itu terdapat dalam tubuh (kita). Tubuh halus tak akan ada tanpa kebenaran yang sejati. Lekatlah antara rasa dan pikiran. Lekatlah kata ajaran di luar kata, lekatlah daya di luar daya, kata, dan semangat."

Katanya, "Ah, daya, kata, dan semangat. Sebenarnya banyaklah aku sehingga terbentang hal itu. Aku berjalan tanpa diketahui [orang], aku datang tanpa diketahui [orang]. Aku berada dalam tubuh[mu], karena akulah sebenarnya zat yang ada dalam kebenaran yang sejati Akulah inti Prabu Cakrawati, demikianlah namanya."

Jikalah daya diberi daya lagi, jika kata diberi kata lagi, jika semangat diberi semangat lagi, jika hidup diberi hidup lagi, jernih diberi jernih lagi, sejati diberi kesejatian lagi, kelanggengan diberi kelanggengan lagi, halus diberi kehalusan lagi, paham diberi pemahaman lagi, awas diawasi lagi, berjalan diberi berjalan lagi, ingat diberi ingat lagi, semuanya itu dengan makan minum agar dapat bekerja, maka akulah kebenaran, akulah kesejatian dari segala daya, kata, dan semangat yang senantiasa bertugas menghentikan [melakukan] hal itu.

Sang Manon [memilih] orang untuk diberinya tugas (?). Sang Manon adalah penulis, adalah yang ditulis, adalah tempat semuanya itu. Ia adalah penonton yang tak dapat dilihat, yang berkata dan dibicarakan. Akulah yang menghadirkannya. Akulah hidup berkuasa. Sang Manon terhalang dalam [perjalanannya] menuju kelanggengan yang sejati dan mantap. Kemantapan itu dikatakan [sebagai] hal luput yang merupakan dasar petaka. Itulah yang nampak dalam terjadinya pemaduan tubuh.

Demikianlah ikatan yang ada dalam kemantapan yang sejati, yang terdapat pada kelanggengan yang sejati. Adapun macamnya rupa Tuhan yang langgeng, nampak oleh semua yang memiliki sifat Ketuhanan. Aku tak dapat diketahui jika menyatu dengan kesejatian dalam tubuh manusia. Terlihat oleh orang dan makhluk lainnya, maka kemudian aku pun dapat diketahui karena [menjadi tempat] bersembunyi Sanghyang Sempurna, inti kebenaran yang sejati, inti Prabu Cakrawati yang sejati. Tidak terkena diberi petunjuk oleh yang kembali ke [bentuk] asalnya. Mula-mula tidak dapat diketahui oleh makhluk dan manusia, yang diberi petunjuk hanyalah tubuh kasar yang berwujud manusia, yaitu yang dapat dinamai manusia.

Itulah petunjuk Prabu Cakrawati, yang terkena petunjuk oleh wujud tubuh manusia. Masih tak ada separuhnya yang mengatakan ucapan Sang Pendeta yang sebenarnya, ucapan Sang Ratu yang tembus dan jernih. ltulah yang katanya merupakan ujar manusia yang sebenarnya, yang jernih. Itulah ujar sebenarnya dari manusia, yang tidak mengetahui. Mereka menganggap bukan hidup di muka bumi, hidup .... Dimisalkan keadaan tubuhnya yang ..., dimisalkan orang-orangnya, ternyatalah jelas perbedaannya. Itulah sebenarnya yang tidak dapat diketahui. Ialah manusia yang sempuma, tampil bersama dengan pasangannya. Berjalan (?) di atas jembatan dahan, yang ternyata diketahui bergoyang-goyang [jembatan itu]. ltulah bagian yang jernih, jelas demikian adanya.

Demikianlah, aku yang sebenarnya tak terasakan [oleh] daya, kata, dan semangat. Ah, tiba-tiba saja ada yang sempurna melebihi aku, kata Sang Raja.

Namun, bukanlah semangat itu sekarang telah menjadi sempurna, semangat itu telah mencapai intinya, kekuasaannya? Apa lagi yang bernama inti dari yang inti. Di manakah kekuasaanku oleh yang berkuasa, namanya. Kata inti kebenaran yang sejati, daya, kata, semangat, ada aku yang berkuasa.

Demikianlah, selesai sudah menenangkan yang ada di luar dahan yang ..., di luar Ketuhanan, di luar daya, kata, dan semangat. Kemudian Sang Manon, Sang Mahadiri, yang berada dalam kehalusan daya, kata, dan semangat.

Itulah ... sebagaimana adanya. Itulah rasa dan cita yang hampa dalam hal daya, kata, dan semangat. Itulah semua yang menyatakan (?) hal ajaran yang langgeng. Setiap kata terbukti lengket dengan segala rahasianya. Segala yang nampak maya itu tidaklah menunggal. Daya, kata, dan semangat Ketuhanan, selesailah kata dari jiwa ajaran, yang menyimak (?) daya, yang menyimak (?) pendengaran, yang menyimak pelihatan dari inti kebenaran sejati.

Itulah yang disebut daya, kata, dan semangat yang tunggal. Hidup dari kekuasaan sejati yang bersifat sebenarnya. Itulah yang terngiang dengan mantap dan sejati, mantap melangkah ke arah kelanggengan. Demikianlah sebenarnya akhir ajaran yang tunggal.

Ya, Ajaran, itulah namanya. Pada saat Saka ....

Demikianlah ajaran ini, untuk keberhasilan (?) siapa pun yang terbatas (?)


Daftar Pustaka

  • Ayatrohaedi, Sri Saadah. 1995. Jatiniskala, Kehidupan Kerohanian Masyarakat Sunda Sebelum Islam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.