Skip to content

Sanghyang Swawar Cinta

Teks Sanghyang Swawar Cinta (SSC) ini bersumber dari koleksi Perpustakaan Nasional RI dengan nomor L 626 peti 69, yang berasal dari kelompok koleksi Bandung1. Naskah SSC telah dianalisis dan diterbitkan sebagai hasil kerja sama Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Studi Sunda.

Berikut ini teks SSC terjemahan Tien Wartini2 dan tim.


Sanghyang Swawar Cinta

Ingatan, pikiran, dan angan-angan,
di Sanghyang Swawarcinta,
di dalam ketiadaan,
mulai keluar kepada dunia nyata,
keluar dari mata dan telinga,
keluar bayu dari mulut,
keluar sabda dari rasa,
turun dari untaian sair kuna,
keluar dari pustaka sejati.
Hasil saripati pengetahuan,
muncul dari keabadian sejati,
kesempurnaan keabadian tertinggi.

Tepatlah engkau hai pembaca,
mengucapkan pengetahuan,
keluar wewangian dari asal kejadian,
yang disebut kemurnian asal,
keaslian daripada aji.

Aum, guru dewananta,
niti jati menyembah sang Karopitu,
ketujuh Sanghyang Hayu.

Hamba sama-sama bersuka cita.

Sebagai awal kami berkata,
sebagai asal kami bersabda,
bersaksi pada siang dan malam,
kepada jagat dunia semesta.

Kami titipkan diri,
kami akan meminta izin bercerita,
mengeluarkan kewacanaan,
karena dari situlah asalnya.

Batara Wenang Wisesa sempurna,
Batari Wenang yang sakti,
Batara Bayu yang mendengar,
anganlah tidak mendengar suaraku.

Suaraku sekarang ini,
haruslah menerimanya,
barangkali salah kata,
barangkali salah sebut,
barangkali salah ucap,
sabdaku pindah ke tulisan,
sabdaku pindah ke mantra,
suaraku pindah ke asap dupa.

Sukacitalah batinnya.
Semoga sampai lebih dari itu.

Bimbingan dan ampunan,
sebagai awal kami berkata,
sebagai asal kami bersabda,
permohonan izin kami kepada yang mulia,
(Yang) Sempurna yang Mahasempurna,
Yang Sakti yang Mahasakti.

Kepada Hyang Nalikajantra yang bernama siang,
kepada Hyang Nalikajantra yang bernama malam,
kami mohon izin membakar dupa,
malai melwa malai cendana,
kigugula sulur batara,
serta kulit cempedak,
diselingi kulit langsat,
usar dan jamaka,
jungateup dan halihair,
dicampur dengan tenjomaya,
dipadukan dengan kemenyan merah,
ditaburi kemenyan putih. Bijih emas kalau ada supaya terasa,
membubung asap ke angkasa,
semoga tercium oleh Sunan Ambu,
segala jenis aroma yang wangi di dunia.

Kalau asap condong ke timur,
masuklah ke warna putih,
tempat Hyang Iswara.
Kalau asap condong ke utara,
masuklah ke warna hitam,
tempatnya Hyang Wisnu.
Kalau asap condong ke barat,
masuklah ke warna kuning,
tempat Hyang Mahadewa.
Kalau asap condong ke selatan,
masuklah ke warna merah,
kesorgaan Hyang Brahma.
Kalau sampai ke atas,
masuklah ke empat warna,
kesorgaan Hyang Siwa.

Ke atas kepada sang Rumuhun,
kepada sang Mangambang sang Mangambung,
kepada sang Patih Warahdesa,
terus datang ke ketiadaan,
puncak sanghyang angkasa.
Ke ujung lengkungan langit,
puncak sanghyang angkasa,
payung alas payung desa,
yang disebut payung bwana,
memayungi manusia sejagat.

Kalaulah datang ke situ, asap dupa kami menjadi kabut, menjadi awan hitam dan mendung, menjadi mega pertanda hujan

Kalau jatuh ke tanah, menjadi gundukan tanah subur, menjadi tanah kaputihan, menjadi tanah sanghyang.

Kalau jatuh ke batu, menjadi batu untuk lingga, candi merah candi putih, menjadi batu sanghyang.

Kalau jatuh ke air, menjadi air suci untuk membasahi. yaitu deretan Cihaliwung, namanya Sanghyang Talagawarna. Diambil oleh anak laki-laki, dibawa dalam dandang Tuban, digendong dengan boeh larang, diiringi dengan tetabuhan, gong kuning dan gangsa lari, untuk mencegah bencana dasamala (sepuluh noda), untuk meruat dasakalesa (sepuluh keadaan kotor), begitulah ketentuannya.

Kalau jatuh pada kayu, tunas dan benih tumbuh, tanaman semuanya berbuah, menjadi subur dan sehat, menjadi besar dan tinggi, akarnya besar batangnya lurus, rantingnya rimbun dahannya banyak. Bunganya harum buahnya manis, Begitulah ketentuannya.

Demikian pula kalau jatuh kepada segala binatang, baik besar maupun kecil. Kalau jatuh kepada kancil, kancil putih rajapeni, celeng kuping singa salat, yaitu rajapeni, lembu lilin rajapeni, badak putih rajapeni, gajah putih rajapeni, tunggangan sang prabu. Begitulah ketentuannya.

Demikian pula kalau jatuh kepada anak laki-laki, Menjadi gemuk dan sehat, menjadi besar dan tinggi, kekar paha kukuh betisnya, jemarinya lancip dan panjang, kukunya bersih panjang dan berkilauan, kuning langsat memikat gadis, pengiring Sanghyang Kalih, pengawal para pangeran. Sebaik-baiknya lelaki, astura asturi teriakannya. Begitulah ketentuannya.

Demikian pula kalau jatuh kepada anak perempuan, menjadi gemuk dan sehat, mulus tinggi cantik molek, montok indah seperti daun muda, ranum pipinya tebal rambutnya, montok tinggi dan kuning, kulitnya bersih tanpa bulu. Kayu hapit, karawalea, pandai menyongket di waktu gelap, pandai neuleum di waktu malam, pandai memintal di waktu siang, meubeur, nuar, neuleum, nyangkuduan, tenunan kembang kapuk dan kembang gadung, ngoneng, ngayen, ngasumba, merebus lalab menggulai ayam, merapihkan benang lusi.

Setelah kagum oleh semua itu, kemudian terampil memasak: ikan paray dikembang lopang, udang dimasak kembang dadap, ikan hitu dipepes gosong, ikan lendi dipepes bari, ikan lele dibumbu cobek, ikan gabus dipanjel-panjel, ikan hikeu dileuleunjeur, ikan kancra dilaksa-laksa, sisiknya dibuat raramandi, tulangnya dibatu rangu, siripnya dirokotoy. Ayam putih dipadamara, ayam merah disarengseng, ayam cangkes diketrik, ayam burik dipepes bari, ayam dara dibumbu pecel, ayam betina dipanggang, ayam kurung dikudupung, ayam liar disaraten, ayam kebiri dikasi, kesukaan sang suami.

Kemudian nyanga nyanglarkeun, ngamumujet ngararamandi, membuat rarageding, membuat sate untuk raraka hudan, membuat sate usap-usap lambe, membuat sate pawarang lunta, membuat sate ugang-aging. Itulah kepandaian wanita, begitulah ketentuannya.

Semoga tembus ke bawah, Ke si nugraha kepada Pwa Basuka Basuki, Kepada Batara Nagaraja, kepada sang Patih Warahdesa, kepada yang mulia Awak Larang, yang menyangga bumi, yang mulia wenang di bawah, kepada sanghyang Digdig Herang, ke utara selatan barat timur. Sanghyang Sumaradana, catur alas catur desa, disebut catur mandala, menerangi buana, tua serta muda, sempurna selamat makmur cantik, para bujangga yang mengatur, pada bulan ketujuh, pada bulan rahasia, di dalam rumah Manikmaya, pada pancatiga ajyana.

Menuntun Sanghyang Hurip, membimbing Sanghyang Atma, merangkul Sanghyang Hayu.

Pertama-tama sang pandita, membuat sesaji bayu sabda hidep, memusatkan pikiran yang suci, mengharumkan hidup orang sedunia, kehinaan dalam kedudukan. Demikian. Mohon maaf

Ongkara Nama Sihwaya. Nasihat dalam Siksakandang. Hiduplah, jadilah seluruh kelakuan. Pujian keluar dari aji: Namaste namas karana. Namastu namas Sihwaya

Bunga tunjung bunga suci, di Sanghyang Pawinduan, di Sanghyang Asri Kuning, di Sanghyang Asri Bwana, di Sanghyang Cintamanik, nyata tampak sekarang.

Sedikit-sedikit minta maaf, seolah-olah mundur, gembira menggembirakan. Si Kapanggangan dan si Katiwasan, bodoh, penidur, tolol, dungu berdiri dalam kebodohan, bersandar pada kelalaian. Tipis keyakinan kepada dewa, Lemah .... Terus dihinggapi penyakit si penidur, tertutup oleh si lupa, terbelenggu oleh ketamakan. Tidak diwarisi oleh ilmu pengetahuan, langgeng berprilaku manusia.

Sekarang berbahagia lagi, dengan perasaan kami, Anakku akan belajar, mengeluarkan kewacanaan, oleh tingkah kami, Anakku. Belajarlah dengan kesenangan. Jangan tergesa-gesa dan acuh tak acuh, menganggap mudah dan ugal-ugalan. Ucapan, kelakuan, tingkah, malu. Terdesak oleh pemikiran.

Mengeluarkan aji, sedikit sepatah seloka. Sekarang mengeluarkan kewacanaan, oleh perasaan tidak ditemukan, pada keampuhan gurulagu, tindak tanduk dan tutur kata yang baik, teratur, kebajikan, berpandangan lurus. simpul, tali, ukuran, alat, penggaris untuk meluruskan titik, angka dan baris.

Tahap-tahapan aturan, dengan perasaan kami mengeluarkan bayu, tutup ucapan dari mulut, pikiran dari angan-angan.

Bayu mungkin tidak terasa. Sabda mungkin tidak terdengar. Hidep mungkin tak terbayangkan. Supaya kaget supaya terkejut. Supaya ringan bernapas, supaya lega sanghyang ajnyana.

Bila tidak mengena pada pikiran. Sukar merahasiakan, lingga batu pemujaan. Menggoyang tiang ranjang ribut, dan tersingkap kain terabaikan. Putuslah tali ayunan, tergoyang-goyang pancangnya. Keruh danau kabuyutan, beriak telaga sanghiang.

Tidak mengena pada pikiran, sehingga sulit dirahasiakan. Cekunglah hasil meratakan. Kusutlah hasil membereskan, berhamburan hasil mengumpulkan, bocor hasil menampung, kurang hasil yang memulai, jarang hasil merapatkan, hilang hasil menyamakan, hilang hasil meneliti, tertutup dari nasehat, kasar hasil menghaluskan, merapihkan, meluruskan, mengeraskan, menakar, ngelék, mengukur, kepada yang jauh dan dekat tercerai dan terpisahkan, terbagi dua terbagi tiga, terhalangi dan tergagalkan, dengan kekuatan budi cipta, serta pikir dengan pemikirannya, barangkali salah memahami pepatah, sama-sama memaklumi, karena ingin mencapai tujuan.

Akan belajar menyadari keragu-raguan. Akan belajar mengeluarkan pengetahuan, bayu sejuk dingin sempurna, wangi harum semerbak indah, dewa turun dari ayunan, menitiskan ia kepada binatang, supaya lama terangnya, lama hidup lama berbakti, hanya untuk kecerahan pikiran kami.

Anakku, sama-sama memaklumi, dengan perasaan mengeluarkan sabda, karena ingin mencapai keinginan, membukakan mata, akan mengeluarkannya, yaitu sabda yang menjadi ajaran, sabda kasih sabda yang benar, mantra-mantra yang mahamulia, sabda dari kemurnian kesucian, sabda dari sang pandita, kepada sang Sewaka Darma.

Mengeluarkan sabda kebaikan, sabda dan laku yang menyenangkan, sabda yang bagus dan murni, sabda yang tenang jnyana tenang, ambek yang tenang, karma yang tenang, buda pasanta, budi pasanta, hanya hati tidak akan dikeluarkan. Sabda yang lemah-lembut, manis harum, terlihat mempesona, lebih wangi daripada candu, lebih semerbak dari cendana, sejuk dingin sempurna.

Sabda jernih hati bening, disertai ucapan yang baik, dipayungi pikiran yang senang, dengan perasaan kami, Anakku. Tidak mendapat hasil mendengar, kurang hasil melatih diri, mendirikan sila setia bakti, mengabdi memuja yang sejati. Puputut, noweca, ameng-ameng, yogiswara, tetega dan dewaguru, raja serta ungguwalaka, wasi dan para manguyu, teristimewa para mahapandita, paramasuk, paratutup, para walakan, patangkilan, kian mengena kepada sang jatiwarah, hal memalukan diperbuat, karena perbuatan yang melanggar, takut turun ke dunia, kurang bertanya kepada Siwageni, melakukan sila pagi sore, ketika siang hari, makin lama makin bodoh, makin lama makin celaka, lama-lama memakan cacah, lama-lama memakan talas, tidak punya kemampuan.

Kalaupun bisa hanya lalatangan. Kalaupun tahu hanya bobocokan. Takut mengamalkan perbuatan baik, barangkali diuji dengan pertanyaan, mendapat giliran pertama, malu mengatakannya.

Sadarlah! Bagaimana akan bisa, karena bukan tujuan, karena terbuai oleh kesenangan, terbawa oleh godaan, tergoda oleh penampilan, kurang bertanya kurang menyapa, kurang bertanya kepada Siwageni, mendirikan sila pagi dan sore, dinihari tengah malam, pagi-pagi serta siang.

Semakin terenggut dan terlewat. Semakin tersisih dan terpinggirkan, yang diteliti dan dipelajari makin musnah, yang dicari makin hilang, yang dinasihatkan tersamar, terhalang oleh kecacatan, tertutupi oleh aneka warna.

Sama-sama memaklumi kami. Anakku, tidak terlihat, dalam membela diri, tertutup oleh si lupa, terbelenggu oleh ketamakan, gelap gulita dan malu, tertipu dan hilang ingatan, tolol, bingung, dungu, celaka, terbelit oleh jerat dosa, terselubung oleh keinginan, banyak makan banyak minum. Memperhatikan terangnya siang, dengan rasa tidak dapat merasakan siang.

Pikiran dan kesadaran, buana dengan jasmani, memadukan bayu sabda hidep.

Waktu malam tak merenungi, terbawa oleh kelelapan tidur, dengan jiwa menghibur, masuk keluar datang pergi, terang gelap ditidurkan, datang siang tidak dapat berjemur, terbawa oleh sipat kasar, tak tercapai tak terkejar, tak terlacak tak termiliki, tak menemukan dan menangkap sipat halus karena bukan tujuan.

Ucapan untuk segala pengakuan. tidak ada panca aksara-nya. Sudah terenggut dan terlewat. Sudah tersisih dan terpinggirkan, Terlewat dan terlampaui. Sama-sama memaklumi.

Anakku, janganlah tipis ramping bolong berlekuk. Jelas terang benderang, dengan rasa kurang lengah, tidak cermat dan tidak teliti.

Pada isi tulisan kabuyutan, kurang pandai menyusunnya, di dalam pikiran sendiri, pada sanghyang Tatoajnyana karena tabu yang ditabukan.

Janganlah mengejek, menggelitik. Janganlah menyalahkan dan menghina, kepada paramuha para pandita, juga kepada yang mengajar dan mendidik, demikian pula kepada ibu, ayah, dan guru, lebih-lebih kepada sang jatiwarah.

Karena memang sudah tertuliskan tersuratkan, pada gebang pada lontar, lipatan dan gulungan, ditulis dengan pena hitam, terhampar tergelar tulisan, isi sanghyang pustaka. Bukan cerita hiasan, bukan karangan palsu, karangan jaman dahulu, catatan peristiwa masa lalu. Siksa Kandang, Siksa Kudang, Siksa Kurung, Siksa Dapur, dan Darmasiksa Pangwereg, dan menangis berdiri semalaman, Bujangga Manik tidak sakit, dan kenangan pikiranku, di Manik Sawéstra, serta Sanghiyang Ajnyana, gas ngati man. ding kataniya ? serta Adisasana Manondari Agunglarang, Tato di Sri Wano, tarik timbang dan kenanganku, sorodong di rat, Boma dengan Ramayana, Korawa dan Adiparwa, Angdégaparwa, Dornaparwa, Santiparwa, Satyaparwa, Karnaparwa, Sorgaparwa, serta Agasti Sarwatuti, dengan Cakrawati, serta Sowérapatra, Salakat dan Sarwatuti, Kontara dan Rajanata, Tanjali dan Cakrarohawati, Punggawa dan Bimasorga, Wiwaha dan Pandawa Jaya, Kangkus dengan Aci Puresanapala, serta Ratu Asihan, Pauitan, Paramademit, Danansri, Ugan Pagoyan, Tunduk serta Pakedutan, Cacandén dan Kararangsén. Tahampékan, Babaheuman, yang mengisi binaya panti, Patikrama, Madangkulan, isi Raja Kapa-kapa, Tataan Sanghiyang Medang, serta Waruganna Pakwa, Patra dengan Darmasonya, Rudamala dan Askara, Mangleuwi, Darmapretuti, Darmawéya, Padonaan, Pageni Mangbang Kamalé, Prebokta, Putrewisésa, Kukumba, Mahapawitra, Bubuksah, Parahiyangan, Mahabungku, Medang Tangtu, Jarini dan Candrageni, Sumana dan Darmasasana, dengan Pagagadan, Purbatisti, Purbajati, Sri Wano Dremakusumah, Sri Manggala Mahapadma serta Tatwa Anyjana, Budi Keling, Gagang Aking, Budi Cipta, Indranata, Serta Kunjarakarna, Demikian pula, Hurip-huripan, serta Sri Mahaguru, Sagelar Sanghyang Wayang, keluar di Buana Pitu, serta Sri Mageung, tercapailah Darmajati, itu yang disucikan, bagian dalam sang wiku, pertolongan sang pandita, tempat menyimpan senjata, pemadam kesombongan, karena itu kisah sang sida karuhun, amanat sang sida sukma, peringatan sang sida lenyep, dan sang sida hiyang (aj)nyana, sang sida hiya(ng) widasara, ajaran hiyang yugisora, bumi kecil bumi dekat,

sri hiyang semua sudah menjadi hidup, ketentuan pengetahuan dari Sunda, sanghiyang Sumaradana, catur alas catur desa, yang disebut catur buana, yaitu utara selatan barat timur, sanghiyang hanteu sanghiyang biheung, bukan itu namanya, hidup di sanghiyang pratiwi, cahaya sanghiyang angkasa, kekasih sanghiyang alas, mutiara di kabuyutan, namanya isi bumi, disimpan di dalam raga, untuk menghidupi masa, akan berhenti … baik, terpental pada bulan kasa, terlepas pada bulan karo, meninggalkan raga pada bulan katiga, lenyap pada bulan kapat, habis pada bulan kalima, padam di bulan kanem, pergi di bulan kapitu, … di bulan … … di bulan kasapuluh.

Karena dia penjelmaannya, titisan dari sang pandita, kepada sang sewaka darma.

Bunga tepus tunas tebu, tali temali tidak putus. Yang disuruh dipelajari didalami, dipahami dipikirkan, pada sabda pada pemikiran, pada air muka pada pengetahuan, pada tingkah laku yang tidak tetap, dia akan dilindungi, malas dia (sehingga) gagal, sebatang kara tidak ada tempat bersandar, bunyi genta pun tidak terdengar. Ikatan putus, cerita mahapandita, amanat yang mulia terdahulu. Tetapi tidak akan terlacak terpahami, tak tergapai tak tercapai, tak terkejar tak terlihat. Terlaksana amanat yang mulia terdahulu.

Sama-sama memaklumi. Dengan perasaan kami, Anakku. Meluapkan kegembiraan, ke hadapan sang pandita.

Kasar dan tergesa-gesa, sering lekas naik darah dan pemarah. Memetik pengetahuan jauh pandangan, meloncat jauh dua langkah, tegaklah yang tergoncang pengetahuan, tidak bisa menyampaikan sabda rahayu, mengidamkan suara yang sempurna, mengungkapkan tutur kata yang baik, sama-sama memaklumi, Demikian. Maaf.

Sekarang menuju kebahagiaan. Ada beberapa larik, satu titik angka dan baris. Satu tahap untuk berjalan, datang bersama-sama.

Ada yang ditutupi, bergores ucapan satu baris, berbekas suara satu kata, penutup sekar lepana, penyerta ucapan yang mulia, penyaring suara yang baik, penawar ucapan yang congkak, akan menyampaikan persembahan, mengumpulkan hasil memetik, dedaunan dan bebungaan, parepe parepe ranting kering, gancang ilalang pengisi alam semesta, untuk menghaturkan bunga, bunga rampai sesaji diangsurkan, ditaburi bunga-bungaan, pahatan ukir-ukiran, daun kalapa dibentuk bunga, ditiru seperti burung, dibentuk seperti merak, kupat halu kupat manuk, dengan kupat parupuyupan, kupat walang kupat iwak, hinggap di rumput palias, hiasan kain bunga padi, wuku-waka kurung atma, Kupat karas bunga picung. Rumbai-rumbai daun jahe. Pedupaan pucuk rebung. Bunga tunjung paksi aman, penunggu kelahiran kembali. Sesajian sekar putri. Rotan membelit periuk, sutra tipis dihamparkan, daun dibentuk hiasan, sejengkal sajian diangsurkan, digigit oleh kera hitam, dilapisi dengan selembar daluang. Disirami oleh sanghiyang dewa tiga anawasta, Dilindungi sanghiyang tiga ajnyana. Sirih, kapur, dengan pinang, serta setangkai bunga.

Lemas layu lemah lunglai, paré parépé rangrang gancang, hareucang carang coréngcang, tidak subur tidak berbiak, bunga layu, gersang kering, buah kerdil serta mengering, pendek kecil dan kerontang, terjemur dan rupanya jelek, compang-camping tercabik-cabik, memburukkan menyepelekan. menghina dan menjelekkan.

Tentu saja sama-sama bisa, dengan perasaan kami menghadapkan dia, kepada sang pandita. Barangkali menungging mencangkung, barangkali membelakangi menghalangi. Tidak tetap tidak benar, tidak seimbang tidak cukup, tidak lurus pikirannya.

Selanjutnya hasil kami menyusun, kusut masai kacau-balau, terbalik dan bersilangan, menyerong dan menghalangi, berhamburan berserakan, bercampur baur, tidak jelas ujung pangkalnya, dari atas tidak jelas pucuknya, dari bawah tidak jelas pohonnya,

di tengah tidak jelas batang kayunya, tidak rata dan tidak lurus, tidak teratur dan tidak rapih tidak cukup menjadi batang kayu, terlihat kering bekas ditebas, sang pandita tidak khawatir, merubuhkan menurunkan, menggeserkan kesucian. Memindahkan kebajikan, merusak keutamaan, dengan rasa dari dahulu ada.

Sekarang kebodohan diperbaiki, pikiran pada yang utama, menghilangkan rintangan, dengan rasa tidak akan tahu, pada keindahan dan kemuliaan, suara yang mulia dahulu. Sama-sama memaklumi. Lebih-lebih perbuatan sang adangdan, terlampaui terlangkahi, dengan lengan kiri dan kanan, yang menempel pada badan, anugerah sang pandita, kepada sang sewaka darma.

Daluwang kulit kayu, perlengkapan pakaian, cawat, baju, celana, ikat kepala, selempang, bahiri, bulu roma selembar rambut, semakin (banyak?) pengisi, buana dengan badan, terbit air liur dan berkeringat, terperciki terluluri, dengan keringat dari badan, dengan rasa takkan terpilih, terurai tetapi tidak menjadi rata dan tidak rapih, takkan terjaga takkan terpelihara, trikaya mandala parisuda, kurang makan kurang minum, dengan tingkah tanpa kewaspadaan, khawatirlah dia sang adandan.

Bingunglah dia sang manghayu, Bodohlah dia yang pregili, Mengumumkan yang selalu mengajari pengetahuan. Panjang rasa memarahi diri sendiri. Bukanlah bukan dengan padannya. Kami untuk melihat padannya. Tak teramati tak terpikirkan. Tergadaikan tercukaikan, hamba sama-sama ikhlas, sama-sama memaklumi. Demikianlah. Maaf.

Sekarang menuju kebahagiaan, dengan hasil dari menabung dan hasil berbagi di dalam bangunan. Barangkali keluar dari ketiadaan. Barangkali terhinggapi dengan serba kejijikan dan kekotoran, kuricak dan tahi cecak, sumeuni dan tahi tikus, haranghasu sekar seneng, sirara dan roab runtah, harebuk dan tahi bubuk. Sama-sama mohon dimaafkan. Lebih-lebih waktu ditarik tergesa-gesa, mendadak dan terburu-buru gugup, gemetar, mudah bingung, segera diingat-ingatkan. Waktu di hutan di belantara, dari jamban tempat mandi, dari jalan dari persimpangan, di kampung di tempat berhenti. Barangkali tergulung terjerat. Barangkali terlipat-lipat. Barangkali tertindih terhimpit. Barangkali tersepit terjepit. Barangkali tertindih terhimpit. Pengisi hutan belantara. Pengisi alam semesta. Karena banyak perubahan sanghiyang atma hina dina, hilanglah segala kekayaan, emas, perak, logam mulia, tercampur dengan tembaga dan timah, tersamarkan terpalsukan, melupakan petuah, membelakangi siksaguru, melewatkan siksakandang, menggagalkan watang ageung, melewati pematang lurus, meniadakan orang tua, demikian pula kepada sang pandita, tidak takut dengan siksaan, tidak gentar oleh pamali, mendalami pikiran yang menjijikkan, menguraikan hidep yang tidak benar, mengantarkan sabda yang mencelakakan, terbawa oleh trimala, mengadakan pengetahuan bohong. Kelak jika datang masanya, ukuran lamanya hidup, tidak enak memetik sendiri, mati tidak akan salah tujuan, mati tidak akan menjelma lagi, meninggalkan raga di bulan katiga, hilang pada bulan hapit lemah, pergi di bulan hapit kayu, jiwa terlepas dari badan, keluar bayu sabda hidep, badan yang tinggal sengsara, sang jiwa kotor di kawah, melalui batu berhimpit, lumpur panas si balagadama, dengan air terjun ke jurang, rumput taji tombak besi, jembatan bergoyang-goyang, dan raksasa berkepala api, anjing berkepala raksasa, gagak bersayapkan keris, bertemu dengan sang Yamadipati, dilemparkan ke dalam kawah, direndam selama-lamanya, dipanggang berlama-lama, direbus sampai matang. Lamanya di dalam kawah, seribu seratus tahun, dua ratus dua puluh lima purana. Setelah dia keluar dari kawah, dijadikan makanan anjing si Pancasora, anjing yang berkepala raksasa, gagak bersayapkan keris, kemudian membawa jeruji besi, dengan gagak santana, Anjing tersebut katanya malas. Gagak tersebut tidak mau, karena perbuatannya menyeleweng, waktu di hidup dunia.

Mengadakan pengetahuan bohong, mendalami pikiran yang menjijikkan, menguraikan hidep yang tidak benar, mengantarkan sabda yang mencelakakan. Perbuatannya suka mencuri, oleh dia supaya luput. Karena itu dicacah dipotong-potong, diiris-iris kecil-kecil, dicampur seperti bunga rampai, ditaburkan ke dunia, merasakan perbuatannya, waktu menjadi manusia di dunia, sehingga hancur lebur, terbang berhamburan. Akibat sanghiyang atma hina, menjadi ulat menjadi lintah, jambelong dan limus sakeureut, kararamu hapur mungkal, binatang mengerikan, binatang yang menakutkan, binatang besar dan kecil, merayap tidak diketahui, dinamainya pancatriak, yang hidup di muka bumi, segala macam binatang, yang menjadi penghuni hutan, diam di tanah di air, terapung di tengah laut, terdorong ombak besar, terbawa oleh riak batang, tertiup-tiup angin. Datang angin barat daya, hidup di danau di pulau, berdiam di kayu di batu, berdiam di pucuk di daun, tersangkut di batang di ranting, pada tunggul kayu tumbang, sampai di gunung di bukit, ke semak udung-udung, ke padang rumput hariwata, hutan, pulau kosong, pangeratan kuburan anak-anak, hutan dan kuburan terbuang, tempat pembuangan mayat orang sedunia.

Adalah dihuni, oleh atma hina dina. Karena di situlah ia berada, karena itu akibat dari perbuatannya. Meskipun di tempat yang utama, di desa kabuyutan, tanah air yang makmur, di gunung kahiangan, gunung mahapawitra, masih saja ditinggali, oleh atma hina dina, merasuk bercampur dengan yang tahu, mengganggu kepada orang yang bisa, menggoda kepada orang baik budi. Melihat yang membenci digodanya. Dihalangi makin didatangi, didiamkan makin mendatangi, dihinakan makin disengajakan, ingin terlihat terbukti, juga termakan terminum. Yang menderita sabda celaka, kepada orang terampil, ingin membersihkan noda (ruat mala), mencari teman melakukan dosa, sama-sama berbuat yang memalukan.

Kalau ada pandita yang taat, cermat, teliti, rajin, tekun, sangat khusyuk dalam bertapa, mengamalkan sanghyang darma.
Di situlah tempatnya tinggal. Akan ikut bersama-sama, ikut campur dengan pengetahuan. Ingin tidur berdampingan, berdiam setempat tinggal, berjalan bersama-sama, dengan pandita taat bertapa.

Meminta menunjukkan jalan, ingin sampai ke puhun, ingin tiba kepada tangkal, supaya sampai kepada jati, aku mau tapi tidak tercapai, aku ingin tapi tidak terlaksana.

Jati bertemu dengan perasaannya, karena sabda tertunda, tersesat terus-menerus, diri salah tujuan, terpisah tempatnya berada, seribu seratus tahun, dua ratus dua puluh lima purana, tidak akan menemukan kesadaran, sembuh dari sakit dengan obat, keluar dari bahaya dengan kekuatan, berganti dengan balasan kejahatan, menggoda dan mengganggu, Supaya kaget supaya terkejut. Supaya ngeri terbayang-bayang. Supaya terus merasa jijik. Supaya terus merasa benci. Sama-sama mohon maaf. Karena tadi dibicarakan. Panjang rasanya disebut. Hasilnya tidak mendapat ampunan.

Mewaspadai sebab … tempat bekerja keras, barangkali ada kedekatan, oleh yang berdiri bersinar, oleh yang tersembunyi, semua kesulitan, barangkali ada jangga-janggel, kuricak tahi rawayang, bertimbun-timbun ludahku, menata rupa menata keburukan, hiris bopoh, limus sakeureut, wedit, cacing, dan sondari, tak terlihat tak terbukti, tak tertangkap tak terpegang, mear, pacet, dan cocopet, tingkah laku di dunia, semua mengerikan, semua menakutkan, semua si mahagila. Barangkali tertarik tercabut. Ketika mendadak diburu-buru. Semua serba hina serba gelap.

Keluar dari pancatriak, yang tidak boleh terlihat terbukti, oleh yang mulia makanan suci. Barangkali ada terhinggapi, pada daun pada bunga, pada pattra pada sirih.

Pada kapur pada pinang, sesudahnya terisikan. Bukanlah bukan dengan padannya. Kami untuk melihat padannya. Sang pandita dengan padan kami. Kurang memandang kurang melihat. Sama-sama memaklumi, karena perasaan kami, Anakku. Memapas memotong menakut-nakuti, menghalangi, menggagalkan, orang yang bertapa, sedang duduk diam memuja, bersamadi mendirikan cipta nirmala, yang sedang bersungguh-sungguh samadi. Tidak makan tidak minum. Yang sedang belajar memilih, pada selimut pada cawat, terlebih pada tata karma, yang sedang menempa diri, titah badan titah raga, nirtresna, nirsangsaya.

Sama-sama hohon dimaklumi. Dengan perasaan kami, memberati merepotkan, menyusahkan melelahkan, menyulitkan orang lain. Waspadalah dalam pembicaraan, memilih (ucapan)nya, kotor dan campurnya, suci dan keramatnya.

Kalau ada tertampak, terbuka, janganlah takut, malu, dan khawatir, dirasakan kepalang tanggung.

Mengambil dengan tangan kanan, menerima dengan tangan kiri. Sampaikan kepada Pwah Suci Darani Jati, dan Pwah Suci Laksana, karena itu bagiannya. Serba jijik serba kumuh, serba kotor serba campur, iya celaka iya selamat, dikencingi diberaki, dibuatlah pecomberan, pacayahan pemandian, pekuburan pangwaleran, karena sedang dikuasakan, digali-gali tanpa kepandaian, tidak terlihat tepat, marah, kesal, takut, tetap langgeng bening indah, mengemban kesejatian. Apalagi kalau diperindah, Kalau dibuat petuah, oleh orang yang memiliki pandangan. Iya hutan iya ladang, ditengoki dan dicari, bantar dilewati, jalan pintas memotong bukit, lembah dan dataran dicari, ditelusuri dan diamati. Semoga akan ada. Menemukan rumah kabuyutan. Tanah sejengkal persegi, kemudian ngalingga manik, yang bagus kalau diasah, kalau dijadikan keutamaan, diperindah oleh sang pandita, disiangi, dipangkas, ditebangi, diratakan pinggirnya. Akan dibakar, supaya panas tempat tinggalna, terkuasai mancanegaranya Kemudian dibakar, diratakan supaya bersih, disapukan dan dibersihkan. Setelah selesai itu, diamati diperhatikan, dicari buruk dan baiknya. Pantas, baik, diperindah, sudah baik tambah diperindah. Pintunya diperbagus. Berdampingan diluruskan. Direka-reka seperti walangsanga. Dipotong dibiarkan tergerai, dionggokkan seperti belahan kayu, ditiru seperti pertapaan, direka seperti mandala, ditetesi diririak, diturunkan dinaikkan, dipercepat. Hasil menggubah seperti mata kepiting, dari samping dengan batu putih, hasil mengambil dari danau.

Nyata hasil memperindah, bantar hasil ngadu balay, tanahnya dibuat seperti emas, seperti ukiran. Lebih jelas daripada di Galunggung, lebih panjang daripada di selatan. Ditiru di Jampangmanggung, Sama dengan catih hiyang, karena petunjuk jangan disalahkan, barangkali merendahakan semua. Pertapaan di Jamburaya, Namanya puncak niskala, dipagari batu sekelilingnya, ditaburi manik asra, dicampur dengan adur emas, diselingi … dilihat dari kejauhan, gemerlapan warna-warni. Kebunnya serba bunga-bungaan, kusumah nama bunganya, hanjuang merah dan hanjuang putih, hanjuang lungsir, kayu puring, mandakaki, jambu danti, wera tumpang, wera lancar, kembang bulan, bunga tanjung, jelag dan manyara parat, tatali, bunga widuri, taloki, seruni Keling, delima, bunga pupungon, pacar dan bunga jamaka, teratai dan mayasore, .merah warna bunga yang bercampur-campur, gemilang bunga puspalembang, serta bunga puspagading, melati, bunga dongdoman, bunga tunjung bungawari,

bunga susun, bunga menur, bunga ngapaladarah. Bunga tersebut tidak ada yang baik, kecuali hanya satu, anugrah dari niskala, permulaan ada di dunia nyata, penghormatan kepada sang prabu. Utama di kerajaan kalau dipakai untuk mengormati diri pribadi, yang harum dijadikan cucunduk, yang wangi dijadikan susumping, yang semerbak dijadikan boreh, kembang haneut dibuat peureuh, yang bagus dibuat cacane.

Sekarang menuju kebahagiaan. Lewat yang bersama-sama, dari arah hulu taman danau, diberi pintu dengan kowari, serta dengan pintu curi, serta dengan kamateuang, dipahat bergaris-garis. Bermacam-macam ukir-ukiran, di atas cerita Pandu, di bawah cerita Udarayana, di tengah naga berhempas, diwarnai cangawalayut, merak menari di pangkalnya. Beruang saling membelakangi. Baroeng saling … Udubasu … Batari tersenyum-senyum. Batara berkawan-kawan. Bergandengan berciuman, namanya sanghyang memet.

Sudah selesai begitu, ditaruhlah lingga batu, candi merah, candi putih, candi hijau, candi kuning, arca dan batu gangsa, batu arca diwarnai. Setelah itu ditaruhlah untuk tempat anjangmiru, patanakan pekayuan, serta lembu penempaan, romahyang berserakan, taman mengapitkan pintu, salimar dengan kerajaan, balai persajian, ruang tamu penuh lukisan, serta balai pengolahan, sanggar paiyilan, perapian mengurung jalan, dengan pasamidaan, tempat membakar dupa puja nyapu, dalam bakti tanpa kesombongan, yang disembah tanpa girang, masih gelap tak terlihat,

berwarna warni, perhiasan di dunia, tetap langgeng bening indah, mengamalkan kepertiwian.

Sudah bagus diperindah, disiangi dipangkas, diterangi diratakan, disapu diberi pagar, sapu tutur tiap pagi, diasapi dengan dupa dan dipuja, disembah dan dijadikan kebaktian, diberi dupa dengan wewangian, asap dupa semerbak harum, harumnya mewangi. Agar berhasil memperindah, semua terpelihara, bangunan tujuh serta keluar, diberi balay batu datar, disangga dengan batu rompe, dipagari dengan batu parasi, ditopang dengan batu welas, bertiangkan teras sagala, berdinding kayu laka, atapnya memakai suria tanduk, kaso-kaso suria kuray, kokote lame kuning, dijurey dengan kawung cawene, ditéér dengan ruyung suwangkung, diperkokoh dengan teras jati, diberi pasak dengan bambu, diberi paku kamuning keling, palupuhnya dari awi temen, diselingi dengan awi surat, dibaur dengan beutung larangan, diambil dari kantenan. Tempat duduk jati wulung. Tempat bersandar suria gading. Berbagai warna ukirannya. sayap luar sayap terbentang, di atas sayap bergulung, di bawah sayap terhampar, di samping sayap melambai, di bawah karang bergantung, bertali dengan purnacali, diselingi dengan kenanga, dipaku dengan jati rupa, tiang atap dibalut ijuk, digagaleran pinang basma, ditimbun dengan ijuk berlapis, beratapkan kiray muda, ditutup dengan ijuk berlapis, bertumpuk lapisan ijuk, tebal hasil mengencangkan, rata hasil menyambung, bersih rapih rata licin, seperti gunung tersinari matahari, terlihat dari kejauhan, serta sudutnya dari teras tanggulun, dijaroan dengan carun.

Peranakan di Pajajaran, … manusia utama, anak raja yang dihormat, bangsa putra yang disembah. Bisa membuat danau membangun desa, pendahulu di dunia. Dewata yang turun menjelma. Hiyang menguasi dunia. Tipis mala tebal ajnyana, dengan titisan dan dengan gaibnya, baik rupanya baik amalnya, baik budi baik pikirannya, tamat sudah cepat selesai, inti dewa manusia, tidak terkena perbuatan dosa, pucuk paku daun bantut, di tengah belukar, tiruan berbagai macam bunga. Beringin meneduhi jalan, bercermin di air sanghiyang. Suka sekali aku pada satwanya, namanya burung badayan, terbang tinggi ke angkasa, mengisap bunga dewata. Pada pohon dia hinggap, seperti yang membuatnya, pandita mahawisesa, ketentuan yang bijaksana, jelas benar sangat bijaksana, dari luar bukan orang bukan orang tanpa (?), paracang dan hulukumbang, mencari tanak serta dua, tegak yang duduk di sudut, berjajar yang duduk di hulu, berbaris yang duduk di pinggir, berdiri sang dewa pertapaan, asal kurang pengetahuan, segala macam diadakan, terbukti hasil dahulu, terdapat hasil masa lalu, didatangi orang banyak, yang membawa suguhan tiap pagi, yang membawa tanggungan tiap sore, penjemput saling menunggu, yang lelah pulang berjalan, yang menunggang malah tetap baik, yang bertapa menjadi kaya, banyak cicit serta anak, banyak harta yang disimpan, kemudian banyak indang dan ebon, wasi jadi dekat rama jadi saudara, hamba jauh berkumpul, manguyu dan balawiku, kaasa dan pacogaran, pembantu pelayan dekat, yang selalu menyelesaikan pikiran, menghalangi tugas pekerjaan, hamba pertapaan awak sawah, mencela kebersihan membuang keindahan, mempermudah sekujur badan, menempuh lakau sembarangan.

Semua manfaat dari penglihatan, gundul hasil menggali, bercahaya di pelataran, berdiri di atas bukit, bersandar di dataran, ke atas seperti payung, melengkung ngalinggamanik, datang seperti naga melenggok, menghadapnya dengan ilmu yang dalam, mengabdikan pengetahuan pertapaan, pengetahuan banyak berdatangan, pertanda banyak yang ingin, keindahan milik pertapaan, betah yang mulia laksana, membuktikan hidep tambak melar, yang ingin tiada putusnya, kawan yang datang dengan kearifan, mencari tingkah untuk teladan, dibarengi dengan keramahan. Untuk perhentian yang sebentar, untuk tempat mampir yang lewat, tempat menginap yang pulang pergi. Cantik rumahnya tampan balainya. Indah tempat memasaknya. Bagus balai penghadapannya. Megah pageurangannya. Penuh isi pakayuannya. Kokoh tinggi pangdaunannya. Besar balai pengolahannya. Garapan yang akan me-ruat mala, Lepas dari keadaan hina. Demikianlah, mohon maaf.

Demikian pula tentang kebahagiaan. Lepas lewat mereka dari pembagian. Datang bersama-sama, lama rasanya disimpan, lama rasanya ditunda, baru sekarang dikabarkan, digembirakan dengan keindahan para dewa yang tiga. Setangkai sirih berbau lumut.

Setiup bercampur selipat jadi penawar, selembar besar serahan, sebutir buah seperti kelapa muda.

Keras selamat bening indah. Bertimbun kenyataannya di dunia. Petunjuk bagi orang banyak, ketentuan di dunia. Ialah Ibu Hyang Pertiwi, benar untuk diteladani, oleh kita orang sejagat. Baik tua maupun muda, oleh yang jauh dan yang dekat, demikian pula yang di mandala, serta dengan hyang buyut.

Bukan ketika yang longsor jurang, tebing dan cadas memanjang, sodong, rahong, batu bangkong, pareang batu patenggang. Hanya yang menjadi betah, oleh yang tahu akan bertapa, yang selamat meninggalkan raga. Sama-sama mohon dimaklumi. Hidup kembali dengan selamat, di dunia nyata dan dunia gaib, Masih tetap meskipun begitu. Barangkali untuk tugasnya. Sebelum sentosanya dahulu. Aturan, batasan, dan ukuran, melaksanakan tugasnya. Untuk keturunan dari niskala sakala, dipakai untuk menambah dan mengimbuh, ratu, pejabat, dan nakhoda kaya. Kalau dingin yang menjadi kesejatiannya. Demikian. Mohon maaf.

Sekarang menuju kebahagiaan. Getas, goyang, tidak sempurna, bagus juga tapi tanpa sari. Bertemunya pada keindahan sejati. Supaya berhenti sesal dengan keadaan. Berhenti membenci dengan kejadian. Terbit air liur keluar keringat. Merah padam merah dada, Urat menyembul pada dahi. Bertolak pinggang. Sehingga susah berusaha Lepaslah hasil berpakaian. Tanggal pakaian kebesaran. Karena sering diserang, Kuri ning dewa tiga. Kurang penopang kurang kekuatan, kurang daya dan tenaga. Bingunglah dia yang mengerjakan. Demikianlah ditetapkan ke desa mahapawitra, ke dunia serta jasmani. Dijadikan kain takkan cukup, dipitipuluh takkan sampai. dijadikan samping takkan mantap, dijadikan selimut takkan tertutupi. Sama-sama memaklumi. Demikianlah . Mohon maaf.

Demikianlah menuju kebahagiaan. Ada yang dijadikan penenang. Ada pe … Ada yang bersama-sama, membicarakan tentang raja busana, pemberian sang pandita, tipulung sampit bahiri, roroma dan rambut kasar, baju tanjeur menutup badan hitam, seperti pemuda bersaudara. Demikianlah yang dipikirkan. Ada selembar daluang. Dengan rasa terasa pendek, sempit dan jarang-jarang. Tipis ramping bolong berlekuk. Pinggirannya bergelombang, rapuh lipatannya mentah bahannya, kurang pipih kurang jemur, kurang mekar kurang air, digembirakan dengan perasaan.

Seperti budi kami sekarang. Belajar mengeluarkan kewacanaan.

Senanglah sabda satu kata, tingkah pendek dan lepas. Yaitu membicarakan bau lubang dan pendapat mulut. Tingkah buntu karena rasa. Ucap terputus yang sedang bicara. Ucapan buntu sabda tertunda, terputus terbata-bata. Pendek hasil mengetahui, singkat hasil mengerti, kurang hasil menolong. buntu hasil mengetahui. Demikian pula yang memakai busana. Membicarakan air minum. Hasil kami menjerang dan terendam. Hasil mengolah buah dan gelagah, serba umbi, pisang, dan tebu, wyah, talas, ubi, suweg, serta dengan pepaya matang, dan kelapa hasil menanam. Dengan rasa menjadi, biru lebam karena kurang api, encer karena kurang rempah-rempah, kurang garam serta bumbu, belum sampai empuk benar. Sama-sama memaklumi. Demikianlah. Mohon maaf.

Sekarang menuju kebahagiaan. Yang tinggal untuk dijual, belajar selagi masih muda. Yang bodoh dipaksa-paksa, yang celaka dianiaya, keringat besar keringat kecil, merah padam ditahan-tahan, dengan malu takkan tertahan, pada raut wajah kecuali, barang siapa yang mengamalkannya. menjauhi sang pandita, ada bahasa yang melanggar, terlalu sering dipuji, mau kalau sedang diam, menyuruh kepada hulu kumbang. Menyebut dirinya tidak bisa, juga dengan gurulagu, suara tertahan suara parau, tidak patut pada lagu, suara riuh rendah, bahan tertawaan orang lain, untuk umpatan yang berminat. Yang pindah dibuat terpesona. Sejajar dengan hulukumbang. Membisu yang sedang tertawa. Demikian pula hulukumbang. Suka dengan pujian yang menyenangkan, Diumpat setelah aku pergi. Meskipun begitu, biarkan saja. Yang memuji sebagai bakti, yang mendekat sebagai bahan, yang diam untuk diparut-parut, barang kali katanya banyak pekerjaan. Yang pindah dibuat terpesona. Katanya tidak ada gunanya. Demikianlah kita dibujuk, seringkali banyak kekeliruan, bujukan tidak ditanggapi, diberi hadiah malah marah, tujuan yang benar malah menyeleweng, ditunjukkan oleh sang pandita, kasihan kepada yang menyuruh. Segan barangkali pareuag. Kaya ilmu pandai bicara. Demikianlan. Mohon maaf.

Selesai ditulis pada bulan kedelapan. Berkurang cahaya dua naik? Hasil sang penulis pertapaan Mandala Sunia Sang Abuyut Tejanagara Yang sempurna puncak Cikuray, Hulukumbang, dari Batuwangi.

Mohon maaf pada sang Pembaca, oleh karena tulisan jelek berantakan ibarat tapak kepiting di laut. Kurang tambahi lebih kurangi salah perbaiki. Nyaréna luhung mayan taba nilih(?). Demikian


Catatan Kaki

1 Krom (1914).

2 Sanghyang Swawarcinta, Teks dan Terjemahan.

Referensi

  • Krom, N. J. & F. D. K. Bosch. 1914. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie. Weltevreden: Albrecht & co.
  • Wartini, Tien, dkk. 2011. Sanghyang Swawarcinta, Teks dan Terjemahan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI dan Pusat Studi Sunda.